Makanan-Minuman Legendaris di Kota Pendekar (4)



Es Puter Pak Ran, Resep dari Leluhur yang Sempat Dipekerjakan ke Belanda Sebelum Kemerdekaan


MADIUN – Es Puter Pak Ran di Jalan Rimba Karya juga sudah cukup lama. Es puter tersebut sudah ada sejak 2000 silam atau 23 tahun lalu di Kota Madiun. Namun, Sumiran, sang pemilik depot sejatinya sudah berjualan es puter tersebut sejak 1971 di Kota Pahlawan Surabaya. Usut punya usut, es puter made in Sumiran merupakan usaha turun-temurun dari keluarganya sejak era kemerdekaan. Bahkan, resep es legendaris itu dari kakek buyutnya yang pernah dipekerjakan di negeri kincir angin, Belanda.


‘’Saya yang sudah 75 tahun ini merupakan generasi keempat. Jadi awalnya usaha ini dari kakek buyut saya,’’ kata Sumiran, Kamis (12/1).


Kakek buyutnya tersebut bernama Djodi Kromo dan merupakan warga Desa Kedungsari Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. Sebelum era kemerdekaan, kakek buyutnya tersebut pernah dipekerjakan di Belanda dan menjadi juru masak. Salah satunya, membuat minuman yang kini dikenal dengan sebutan es puter tersebut. 


‘’Setelah era kemerdekaan, dipulangkan kembali ke Indonesia. Kakek buyut saya itu kemudian berjualan es keliling di Sukoharjo sana,’’ jelasnya. 


Usaha itu dipilih lantaran pembuatan es puter cukup sederhana dan tidak memerlukan peralatan yang rumit. Yakni, berbahan santan, gula, dan vanili. Ketiganya lantas dimasukkan dalam alat semacam dandang lantas di putar. Di sekelilingnya diberi es batu dan garam untuk mengentalkan larutan santan, gula, dan vanili tersebut. Es batu ditambah garam untuk menguatkan suhu dingin yang dibutuhkan dalam pengentalan larutan tersebut. Pemutaran biasanya berlangsung selama sekitar tiga jam. 


Dilansir dari kompas.com, es batu di tanah air sudah ada sejak 1846 yang dibawa menggunakan kapal dari Boston, Amerika Serikat. Es batu itu di pesan oleh Roselie en Co. Untuk mengawetkannya, es tersebut dibungkus menggunakan selimut wol. Orang-orang kala itu menyebut es batu sebagai ‘’batu-batu putih sejernih kristal, yang kalau dipegang bisa membuat tangan kaku’’. Beberapa hari kemudian, muncul iklan Roselie en Co yang menjual es tersebut dengan harga 10 sen setiap 500 gram. Satu dekade kemudian pabrik es batu mulai bermunculan di tanah air.


Kembali ke Sumiran, dari kakek buyutnya tersebut, usaha itu kemudian turun ke kakeknya yang bernama Wiro Dimedjo, dan diteruskan lagi orang tua Sumiran yang bernama Iro Imun. Artinya, Sumiran merupakan generasi keempat. Di era ayahnya, jualan es sudah tidak lagi di kawasan Sukoharjo. Iro Imun memang suka berkelana. Iro Imun pernah berjualan es puternya hingga Sumatera dan Kalimantan sebelum akhirnya menetap di Surabaya, tepatnya di daerah Wonokromo.


‘’Saya juga mulai ikut jualan saat di Surabaya itu mulai tahun 1971. Jualannya juga keliling,’’ ungkapnya. 

Pindah ke Kota Madiun


Di Kota Pahlawan itu, Sumiran juga menemukan jodohnya yang ternyata orang Kota Madiun dan tinggal di Jalan Halmahera. Setelah menikah, Sumiran masih berjualan es di Kota Surabaya. Namun, karena diminta menemani mertua yang semakin menua, Sumiran lantas pindah di Kota Madiun. Awalnya, dia ingin membuka warung makan. Namun, niat itu diurungkan dan kemudian tetap berjualan es puter keliling seperti sebelumnya. Ternyata es buatannya cukup mengena di lidah masyarakat Kota Madiun.


‘’Dari situ saya mantap berjualan es puter di Kota Madiun. Dari yang awalnya keliling sekitar satu tahun, sampai akhirnya menetap di Jalan Rimba Karya sini,’’ jelasnya.


Sebelum memiliki depot, Sumiran pernah berjualan berkonsep warung tenda. Tepatnya, menempel di pagar Tempat Penimbunan Kayu (TPK) Perhutani tak jauh dari depotnya sekarang. Jualannya memang cukup laris manis. Bahkan sebelum pandemi Covid-19 lalu, dia bisa berjualan 4-5 box di hari biasa. Sedang, di akhir pekan bisa sampai delapan box. Sumiran juga melayani pesanan untuk berbagai acara seperti kawinan. Bahkan, Wali Kota Madiun, Maidi saat menggelar acara pernikahan anak pertamanya juga memesan hingga 28 box. Namun, khusus untuk pesanan pesta dia membuatkan es krim. 


‘’Saya juga bisa membuat es krim karena dulu pas di Surabaya juga pernah bekerja di perusahaan Campina selama enam tahun,’’ terangnya sembari menyebut pernah memiliki hingga sepuluh karyawan.


Namun, pandemi Covid-19 diakuinya menjadi tantangan tersendiri. Bahkan, kini dia hanya dibantu dua orang. Yakni, seorang karyawan dan adik ipar. Pesanan es puternya menurun drastis. Biasanya sehari hanya habis 2-3 box. Kendati begitu, Sumiran tak berputus asa. Dia optimis dapat kembali bangkit. Sebab, kualitas es puternya tetap terjaga. Sumiran tidak pernah memakai pemanis buatan. Semua bahannya menggunakan bahan alami. Baginya, kesehatan lebih berarti daripada sekedar mencari keuntungan semata. 


Sumiran bertekad tetap melanjutkan usahanya. Pun, sudah banyak pelanggan setianya. Sumiran berharap usahanya juga diteruskan anak angkatnya. Apalagi, usahanya tersebut merupakan warisan turun-temurun dan cukup berhasil bertahan berkat hasil kerja kerasnya selama ini. Dia memang tidak pernah sekolah dan tidak bisa baca-tulis, tetapi bukan berarti tidak bisa membaca peluang bisnis. (rams/agi/madiuntoday)